Perkenalan
kami dimulai ketika pengumuman pembagian daftar nama-nama
siswa yang masuk kelas XI IPA ataupun kelas XI IPS. Dan ternyata aku sendiri
masuk kelas XI IPA 1 bersama dengan Astari, Ketut Dendi, Wayan Dilla, Istiqomah
dan juga Weni yang berasal dari kelas sebelumnya, kelas X5. Belum sempat aku
melihat daftar siswa lainnya yang masuk di kelas XI IPA 1, dari belakang ada
seseorang yang menepuk pundakku. “Mengko dewe sebangku yo Dil?” ucapnya dengan
logat Jawa yang khas sambil tangannya masih berada di pundakku. Awalnya aku
sempat bingung dari mana dia mengetahui namaku sampai akhirnya dia menjelaskan
siapa dia sebenarnya. Ternyata dia adalah Petrus Kanesius Wisnu Perdana atau
yang biasa dipanggil dengan nama Petrus yang ketika masih SMP adalah adik kelasku
namun kini menjadi teman satu angkatan karena aku sempat memutuskan untuk berhenti
bersekolah selama satu tahun hingga akhirnya aku dapat melanjutkan sekolah di
SMAN 1 Sidomulyo. Akhirnya kami memutuskan untuk duduk sebangku di Kelas XI IPA
1 yang akan kami masuki.
Liburan
pun usai, itu pertanda dimulainya rutinitas aku dan teman-teman lainnya sebagai
seorang pelajar. Seperti perjanjian kami sebelumnya, aku dan Petrus duduk bersama.
Kami duduk di bangku paling depan dan berhadapan langsung dengan meja guru.
Tepat di sebelah kanan kami ternyata ada seseorang yang sudah tidak asing lagi
buatku, karena selain prestasinya dia juga memiliki rupa yang cantik, yaitu Lia
Kurniasih. Dia juga merupakan adik kelasku ketika masih SMP, sama halnya
seperti Petrus. Karena itulah aku dan Lia sering memanggil Petrus dengan
panggilan anak polos.
Dipanggil
demikian karena Petrus adalah siswa yang kerap kali diperintahkan oleh guru
yang masuk ke kelas XI IPA 1. Mungkin karena hal itulah dia memutuskan untuk
pindah dan memilih duduk di belakang bersama dengan kelompok biang onar di kelas,
Indra, Imam, Ketut Dendi, Revan dan juga Aris. Cukup lama aku duduk sendirian
dengan pindahnya Petrus ke tempat lain, sampai akhirnya di semester ke dua
masuklah Riski Ilmawan yang menggantikan posisi Petrus. Riski adalah siswa baru
yang berasal dari Banjarnegara. Riski memilih pindah dari Banjarnegara karena
mengikuti kedua orang tuanya yang telah terlebih dahulu tinggal di Lampung.
Meskipun demikian, kelompok biang onar yang diketuai oleh Indra tetap saja
meledek Riski dengan mengatakan alasan kepindahannya dikarenakan sekolah
tempatnya mencari ilmu terkena longsor yang saat itu sedang marak-maraknya
diberitakan di televisi.
Riski
memang mendapatkan sambutan yang kurang menggembirakan, karena selain mendapat ejekan
sekolahnya terdahulu terkena longsor, dia juga mendapat julukan “ngapak” yang
merupakan ciri khas masyarakat Banjarnegara. Namun demikian, dia tetap betah
bersekolah di SMAN 1 Sidomulyo. Ketenaran Riski yang mendapatkan julukan
“ngapak” membenamkan ketenaran Petrus yang dijuluki sebagai anak polos.
Hari-hari kami selalu dihiasi dengan julukan-julukan aneh namun tetap
menjunjung tinggi rasa toleransi dan persaudaraan di antara kami yang membuat
kami semakin akrab dan kompak sehingga akhirnya tak terasa kami semua naik ke
kelas XII sebelum akhirnya kami semua akan menempuh jalan masing-masing setelah
lulus nanti.
Tidak
seperti saat awal masuk kelas XI, aku belum mendapatkan teman yang bersedia
untuk duduk sebangku denganku. Hingga akhirnya ada salah satu teman yang telah
dua tahun satu kelas denganku bersedia duduk di sebelahku. Dia adalah Wayan
Dilla yang hobinya adalah dandan dan juga selfie di kelas ketika jam pelajaran
sedang kosong ataupun ketika istirahat tiba. Karena itulah aku merasa tidak nyaman
ketika duduk sebangku dengannya dan memutuskan untuk pindah. Akhirnya aku pun
duduk bersama Indra yang sebelumnya ditinggalkan oleh Imam karena memilih duduk
bersama Revan. Kini semua teman-teman kelas XII IPA 1 telah memiliki teman
sebangku terkecuali Wayan Dilla.
Saat
keadaan kelas belum sepenuhnya kondusif, masuklah Pak Hanafi, guru Bahasa
Indonesia di kelas XII. Pak Hanafi sudah tidak asing lagi buatku, karena beliau
kerap kali menjadi guru favorit di sekolah. Hal demikian memanglah tidak
berlebihan, karena Pak Hanafi memiliki sifat humoris dan mudah memahami
karakter siswa. Bahkan bukan hanya itu, beliau sering memberikan motivasi untuk
seluruh siswa kelas XII yang menjadi anak didiknya terutama kepada diriku yang
memiliki masalah pribadi dengan teman wanita yang aku suka, yaitu Weni
Wulandari yang tak pernah aku ungkapkan perasaanku padanya meskipun kami telah bersama
sejak awal masuk SMA. Pak Hanafi berpesan, “Nek wani ojo wedi, nek wedi ojo
wani-wani” yang jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia berarti “Jika berani
jangan sungkan, jika sungkan jangan gegabah”. Itulah kalimat yang akan dikenang
selama hidupku dan sejak saat itulah aku memiliki motivasi untuk menjadi lebih
baik. “Jika menjadi yang terbaik, maka aku bisa memilih yang terbaik” ucapku
dalam hati.
Kebersamaan
dan kekompakkan kami membuat waktu berlalu begitu saja. Hingga tak terasa
detik-detik menuju Ujian Nasional pun sudah di depan mata. Seluruh siswa kelas
XII mulai disibukkan dengan bimbel dan juga les yang dilakukan bukan hanya
siang hari, namun juga malam hari. Begitu juga dengan aku dan Petrus, setelah
usai bimbel di sekolah kami melanjutkan les matematika di rumah Ibu Lely
Febrianti yang juga menjadi guru di sekolah kami. Semua itu dilakukan demi lulus
Ujian Nasional dan masuk kampus impian kami. Aku pun sering menginap di rumah
Petrus karena memang rumahku terletak paling jauh jika dibandingkan dengan
teman-teman lainnya yang juga les di rumah Ibu Lely. Meskipun dengan perbedaan
keyakinan, aku tak canggung bermalam di rumah Petrus karena kedua orang tuanya selalu
mengingatkan aku untuk tidak lupa beribadah dan memerintahkan Petrus agar
mengantarku melaksanakan sholat shubuh berjamaah di masjid terdekat.
Hingga
keesokkan harinya, setelah melaksanakan sholat shubuh berjamaah aku bergegas
pulang karena sang mentari mulai menyingsing dari peraduannya. Usai berpamitan
dengan kedua orang tua Petrus, aku langsung pulang untuk selanjutnya kembali
bersekolah. Melelahkan memang, belum sempat aku menikmati kehangatan pagi hari
bersama keluarga, namun kewajibanku sebagai seorang pelajar seolah memaksa diri
ini untuk merelakannya. Setelah berpamitan kepada kedua orang tua, dengan
tergesa-gesa aku langsung menuju rumah Aji. Sesampainya di rumah Aji, aku lupa
membawa bekal yang telah disiapkan oleh ibu dan aku tak sempat untuk
mengambilnya karena tak lama Aji keluar dari kamarnya.
Kami
pun berpamaitan dengan Pak Widoyo, ayah Aji untuk berangkat ke sekolah.
Terhitung pada hari itu aku berpamitan dengan tiga orang tua yang berbeda,
namun yang pasti hal itu untuk mendoakan keselamatanku di perjalanan. Namun kehendak
Tuhan berkata lain, kami mengalami kecelakaan yang mengakibatkan aku tidak
menyadarkan diri selama tiga hari, sementara Aji mengalami patah tulang pada
ibu jarinya.
Pada
saat tidak menyadarkan diri itulah, banyak teman-teman dan guru yang bersimpati
dengan keadaanku. Diantara teman-teman yang lainnya, Petruslah yang paling
terpukul dengan musibah yang menimpaku. “Petrus sering jengukin kamu, bahkan
dia yang pertama menjenguk kamu ke rumah sakit dan menangis melihat kondisimu
yang sedang sekarat” ibu menjelaskan. Mendengar hal itu, aku sangat terharu
sekaligus bangga memiliki teman seperti Petrus karena dia tidak memiliki sifat
dendam meskipun aku sering mem-bullynya.
Selama
di rumah sakit, aku merasa jenuh dengan obat-obatan yang harus diminum secara
teratur. Akan tetapi ibu mengatakan jika obat yang aku minum sama halnya
seperti ibadah sholat yang rutin dilaksanakan oleh umat Islam meskipun dalam
keadaan sakit. “Nak minum obat itu ibarat sholat, meskipun kamu enggan
melakukannya, namun itu harus dilakukan demi kebaikanmu juga” jelas ibu. Perkataan
ibu membuat semangat dan rasa syukurku kembali muncul.
Akhirnya
setelah sepuluh hari dirawat, dokter mengijinkan aku untuk pulang dan berkumpul
kembali bersama keluarga. Namun yang membuatku bersedih, dokter belum
membolehkan aku kembali bersekolah sebelum kesehatanku kembali pulih. Akibatnya
aku tertinggal materi pelajaran yang diajarkan melalui bimbel dan les yang dipersiapkan
untuk menghadapi Ujian Nasional. Hal tersebut diperparah dengan diagnosa dokter
yang mengatakan bahwa aku terkena amnesia yang membuatku lupa sebagian materi
pelajaran, sehingga aku cukup khawatir dengan Ujian Nasional yang akan
dihadapi.
Saat-saat
yang paling menentukan pun tiba. Senin 04 April 2016 seluruh siswa kelas XII SMA
menghadapi Ujian Nasional yang menentukan masa depan mereka, termasuk diriku.
Awalnya aku sempat pesimis akan lulus Ujian Nasional, namun dengan segenap rasa
syukurku yang masih diberikan kesempatan untuk mengikuti Ujian Nasional oleh
Sang Pencipta memunculkan keyakinan pasti ada hikmah-Nya di balik semua ini.
Dan
benar saja, tepatnya pada tanggal 07 Mei 2016 aku dinyatakan lulus meskipun
dengan hasil yang jauh dari harapanku selama ini. Namun aku bertekad, meskipun
dengan hasil Ujian Nasional yang kurang memuaskan bukanlah akhir dari segalanya.
Karena menurutku, orang cerdas ialah orang yang bisa mengubah kesulitan menjadi
sebuah kesempatan, dan tak ada rahasia untuk sukses melainkan semua itu
dilakukan dengan usaha, doa serta kerja keras yang tak mengenal lelah dan putus
asa.