Monday, September 4, 2017

Persahabatan Lintas Agama



Perkenalan kami dimulai ketika pengumuman pembagian daftar nama-nama siswa yang masuk kelas XI IPA ataupun kelas XI IPS. Dan ternyata aku sendiri masuk kelas XI IPA 1 bersama dengan Astari, Ketut Dendi, Wayan Dilla, Istiqomah dan juga Weni yang berasal dari kelas sebelumnya, kelas X5. Belum sempat aku melihat daftar siswa lainnya yang masuk di kelas XI IPA 1, dari belakang ada seseorang yang menepuk pundakku. “Mengko dewe sebangku yo Dil?” ucapnya dengan logat Jawa yang khas sambil tangannya masih berada di pundakku. Awalnya aku sempat bingung dari mana dia mengetahui namaku sampai akhirnya dia menjelaskan siapa dia sebenarnya. Ternyata dia adalah Petrus Kanesius Wisnu Perdana atau yang biasa dipanggil dengan nama Petrus yang ketika masih SMP adalah adik kelasku namun kini menjadi teman satu angkatan karena aku sempat memutuskan untuk berhenti bersekolah selama satu tahun hingga akhirnya aku dapat melanjutkan sekolah di SMAN 1 Sidomulyo. Akhirnya kami memutuskan untuk duduk sebangku di Kelas XI IPA 1 yang akan kami masuki.

Liburan pun usai, itu pertanda dimulainya rutinitas aku dan teman-teman lainnya sebagai seorang pelajar. Seperti perjanjian kami sebelumnya, aku dan Petrus duduk bersama. Kami duduk di bangku paling depan dan berhadapan langsung dengan meja guru. Tepat di sebelah kanan kami ternyata ada seseorang yang sudah tidak asing lagi buatku, karena selain prestasinya dia juga memiliki rupa yang cantik, yaitu Lia Kurniasih. Dia juga merupakan adik kelasku ketika masih SMP, sama halnya seperti Petrus. Karena itulah aku dan Lia sering memanggil Petrus dengan panggilan anak polos.

Dipanggil demikian karena Petrus adalah siswa yang kerap kali diperintahkan oleh guru yang masuk ke kelas XI IPA 1. Mungkin karena hal itulah dia memutuskan untuk pindah dan memilih duduk di belakang bersama dengan kelompok biang onar di kelas, Indra, Imam, Ketut Dendi, Revan dan juga Aris. Cukup lama aku duduk sendirian dengan pindahnya Petrus ke tempat lain, sampai akhirnya di semester ke dua masuklah Riski Ilmawan yang menggantikan posisi Petrus. Riski adalah siswa baru yang berasal dari Banjarnegara. Riski memilih pindah dari Banjarnegara karena mengikuti kedua orang tuanya yang telah terlebih dahulu tinggal di Lampung. Meskipun demikian, kelompok biang onar yang diketuai oleh Indra tetap saja meledek Riski dengan mengatakan alasan kepindahannya dikarenakan sekolah tempatnya mencari ilmu terkena longsor yang saat itu sedang marak-maraknya diberitakan di televisi.

Riski memang mendapatkan sambutan yang kurang menggembirakan, karena selain mendapat ejekan sekolahnya terdahulu terkena longsor, dia juga mendapat julukan “ngapak” yang merupakan ciri khas masyarakat Banjarnegara. Namun demikian, dia tetap betah bersekolah di SMAN 1 Sidomulyo. Ketenaran Riski yang mendapatkan julukan “ngapak” membenamkan ketenaran Petrus yang dijuluki sebagai anak polos. Hari-hari kami selalu dihiasi dengan julukan-julukan aneh namun tetap menjunjung tinggi rasa toleransi dan persaudaraan di antara kami yang membuat kami semakin akrab dan kompak sehingga akhirnya tak terasa kami semua naik ke kelas XII sebelum akhirnya kami semua akan menempuh jalan masing-masing setelah lulus nanti.

Tidak seperti saat awal masuk kelas XI, aku belum mendapatkan teman yang bersedia untuk duduk sebangku denganku. Hingga akhirnya ada salah satu teman yang telah dua tahun satu kelas denganku bersedia duduk di sebelahku. Dia adalah Wayan Dilla yang hobinya adalah dandan dan juga selfie di kelas ketika jam pelajaran sedang kosong ataupun ketika istirahat tiba. Karena itulah aku merasa tidak nyaman ketika duduk sebangku dengannya dan memutuskan untuk pindah. Akhirnya aku pun duduk bersama Indra yang sebelumnya ditinggalkan oleh Imam karena memilih duduk bersama Revan. Kini semua teman-teman kelas XII IPA 1 telah memiliki teman sebangku terkecuali Wayan Dilla.

Saat keadaan kelas belum sepenuhnya kondusif, masuklah Pak Hanafi, guru Bahasa Indonesia di kelas XII. Pak Hanafi sudah tidak asing lagi buatku, karena beliau kerap kali menjadi guru favorit di sekolah. Hal demikian memanglah tidak berlebihan, karena Pak Hanafi memiliki sifat humoris dan mudah memahami karakter siswa. Bahkan bukan hanya itu, beliau sering memberikan motivasi untuk seluruh siswa kelas XII yang menjadi anak didiknya terutama kepada diriku yang memiliki masalah pribadi dengan teman wanita yang aku suka, yaitu Weni Wulandari yang tak pernah aku ungkapkan perasaanku padanya meskipun kami telah bersama sejak awal masuk SMA. Pak Hanafi berpesan, “Nek wani ojo wedi, nek wedi ojo wani-wani” yang jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia berarti “Jika berani jangan sungkan, jika sungkan jangan gegabah”. Itulah kalimat yang akan dikenang selama hidupku dan sejak saat itulah aku memiliki motivasi untuk menjadi lebih baik. “Jika menjadi yang terbaik, maka aku bisa memilih yang terbaik” ucapku dalam hati.

Kebersamaan dan kekompakkan kami membuat waktu berlalu begitu saja. Hingga tak terasa detik-detik menuju Ujian Nasional pun sudah di depan mata. Seluruh siswa kelas XII mulai disibukkan dengan bimbel dan juga les yang dilakukan bukan hanya siang hari, namun juga malam hari. Begitu juga dengan aku dan Petrus, setelah usai bimbel di sekolah kami melanjutkan les matematika di rumah Ibu Lely Febrianti yang juga menjadi guru di sekolah kami. Semua itu dilakukan demi lulus Ujian Nasional dan masuk kampus impian kami. Aku pun sering menginap di rumah Petrus karena memang rumahku terletak paling jauh jika dibandingkan dengan teman-teman lainnya yang juga les di rumah Ibu Lely. Meskipun dengan perbedaan keyakinan, aku tak canggung bermalam di rumah Petrus karena kedua orang tuanya selalu mengingatkan aku untuk tidak lupa beribadah dan memerintahkan Petrus agar mengantarku melaksanakan sholat shubuh berjamaah di masjid terdekat. 

Hingga keesokkan harinya, setelah melaksanakan sholat shubuh berjamaah aku bergegas pulang karena sang mentari mulai menyingsing dari peraduannya. Usai berpamitan dengan kedua orang tua Petrus, aku langsung pulang untuk selanjutnya kembali bersekolah. Melelahkan memang, belum sempat aku menikmati kehangatan pagi hari bersama keluarga, namun kewajibanku sebagai seorang pelajar seolah memaksa diri ini untuk merelakannya. Setelah berpamitan kepada kedua orang tua, dengan tergesa-gesa aku langsung menuju rumah Aji. Sesampainya di rumah Aji, aku lupa membawa bekal yang telah disiapkan oleh ibu dan aku tak sempat untuk mengambilnya karena tak lama Aji keluar dari kamarnya.

Kami pun berpamaitan dengan Pak Widoyo, ayah Aji untuk berangkat ke sekolah. Terhitung pada hari itu aku berpamitan dengan tiga orang tua yang berbeda, namun yang pasti hal itu untuk mendoakan keselamatanku di perjalanan. Namun kehendak Tuhan berkata lain, kami mengalami kecelakaan yang mengakibatkan aku tidak menyadarkan diri selama tiga hari, sementara Aji mengalami patah tulang pada ibu jarinya.

Pada saat tidak menyadarkan diri itulah, banyak teman-teman dan guru yang bersimpati dengan keadaanku. Diantara teman-teman yang lainnya, Petruslah yang paling terpukul dengan musibah yang menimpaku. “Petrus sering jengukin kamu, bahkan dia yang pertama menjenguk kamu ke rumah sakit dan menangis melihat kondisimu yang sedang sekarat” ibu menjelaskan. Mendengar hal itu, aku sangat terharu sekaligus bangga memiliki teman seperti Petrus karena dia tidak memiliki sifat dendam meskipun aku sering mem-bullynya.

Selama di rumah sakit, aku merasa jenuh dengan obat-obatan yang harus diminum secara teratur. Akan tetapi ibu mengatakan jika obat yang aku minum sama halnya seperti ibadah sholat yang rutin dilaksanakan oleh umat Islam meskipun dalam keadaan sakit. “Nak minum obat itu ibarat sholat, meskipun kamu enggan melakukannya, namun itu harus dilakukan demi kebaikanmu juga” jelas ibu. Perkataan ibu membuat semangat dan rasa syukurku kembali muncul.

Akhirnya setelah sepuluh hari dirawat, dokter mengijinkan aku untuk pulang dan berkumpul kembali bersama keluarga. Namun yang membuatku bersedih, dokter belum membolehkan aku kembali bersekolah sebelum kesehatanku kembali pulih. Akibatnya aku tertinggal materi pelajaran yang diajarkan melalui bimbel dan les yang dipersiapkan untuk menghadapi Ujian Nasional. Hal tersebut diperparah dengan diagnosa dokter yang mengatakan bahwa aku terkena amnesia yang membuatku lupa sebagian materi pelajaran, sehingga aku cukup khawatir dengan Ujian Nasional yang akan dihadapi.
Saat-saat yang paling menentukan pun tiba. Senin 04 April 2016 seluruh siswa kelas XII SMA menghadapi Ujian Nasional yang menentukan masa depan mereka, termasuk diriku. Awalnya aku sempat pesimis akan lulus Ujian Nasional, namun dengan segenap rasa syukurku yang masih diberikan kesempatan untuk mengikuti Ujian Nasional oleh Sang Pencipta memunculkan keyakinan pasti ada hikmah-Nya di balik semua ini.

Dan benar saja, tepatnya pada tanggal 07 Mei 2016 aku dinyatakan lulus meskipun dengan hasil yang jauh dari harapanku selama ini. Namun aku bertekad, meskipun dengan hasil Ujian Nasional yang kurang memuaskan bukanlah akhir dari segalanya. Karena menurutku, orang cerdas ialah orang yang bisa mengubah kesulitan menjadi sebuah kesempatan, dan tak ada rahasia untuk sukses melainkan semua itu dilakukan dengan usaha, doa serta kerja keras yang tak mengenal lelah dan putus asa.



























Tentang Penulis

masarul

Author & Editor

Melalaui karya aku berteriak lantang kepada dunia. Melalui tulisan aku kiaskan perasaan yang dapat diungkapkan lewat lisan.

 
masarul.com © 2015 - Designed by Templateism.com | Distributed By Blogger Templates